WARTA

20
Nov

Ketika Ngayogjazz Mengajak Masyarakat Pandowoharjo Jam Session

Jam session, kebanyakan orang akan terbayang tentang sejumlah orang yang berkumpul dan memainkan jazz bersama. Dengan instrumennya masing-masing, mereka seolah sedang bercakap dengan bahasa universal. Di Ngayogjazz, jam session juga terjadi dalam bentuk yang lebih rumit dan lebih luas, melibatkan musisi, penyelenggara, penduduk desa, pedagang, pengunjung, dan bahkan alam.

Pada konferensi pers yang diadakan di the Alana Hotel, kemarin siang (19/11), Djaduk Ferianto, sebagai penggagas Ngayogjazz menyatakan bahwa jam session tidak selalu sebuah kegiatan bermusik, tapi harus musikal. Pertemuan dengan orang-orang dari beragam latar belakang budaya saat acara pun dapat dikatakan sebagai jam session. Di dalam sebuah kegiatan jam session, semua pihak yang terlibat harus berkontribusi dan bekerja sama sehingga menciptakan harmoni.

Eko Prawoto, arsitek, seniman, dan budayawan, yang menjadi narasumber konferensi pers siang itu menegaskan keterangan Djaduk Ferianto, dengan mengatakan Ngayogjazz memberikan ruang untuk interaksi bagi semua orang yang berada di area Ngayogjazz, sejak masa persiapan hingga pelaksanaannya.

Kegiatan jam session adalah sebuah idiom yang lekat dengan musik jazz. Dalam sebuah kegiatan jam session sarat dengan improvisasi yang membuat jalinan nada-nada menjadi musik yang indah. Sejak awal penyelenggaraan Ngayogjazz, inisiator acara ini memang dirancang dengan melibatkan masyarakat desa di mana Ngayogjazz terselenggara. Baik pihak Ngayogjazz, maupun masyarakat desa setempat harus berimprovisasi agar tercipta harmoni kerja sama yang membuat penyelenggaraan Ngayogjazz sukses. Penyelenggara Ngayogjazz harus belajar untuk memahami kehidupan, adat istiadat, dan potensi masyarakat desa. Di pihak lain, masyarakat desa belajar berorganisasi dan me-manage penyelenggaraan sebuah acara yang mengangkat potensi dan kreativitas penduduk di desa tersebut.

Trie Utami, penyanyi yang mempunyai jam terbang panjang dan tampil di banyak panggung di berbagai negara, ketika ditanya keunikan acara Ngayogjazz, ia mengatakan, “Berbeda dengan acara musik di festival lain yang pernah saya hadiri, Ngayogjazz berhasil mengangkat seni budaya lokal untuk menjadi bagian pertunjukkan utama. Sedangkan di acara lainnya penduduk hanya menjadi penonton dari seni pertunjukkan yang dibawa dari luar.”

Ini membuktikan bahwa Ngayogjazz berhasil membaurkan musik jazz dengan seni budaya lokal di mana acara tersebut diselenggarakan. Kelebihan ini menjadikan Ngayogjazz acara jazz yang berbeda dengan acara sejenis di mana pun.

Narasumber yang lain, Panjoel, seorang vokalis asal Yogyakarta yang telah lebih dari 30 tahun berkarir mengatakan musik jazz memang sangat luwes sehingga siapa pun yang terlibat dapat mengekspresikan dirinya. Musik jazz di Ngayogjazz bukan hanya sekedar musik tapi juga menjadi spirit dari penyelenggaraan acara tersebut.

Di sesi tanya jawab, Djaduk Ferianto menjelaskan bahwa desa Pandowoharjo memang memiliki keguyuban yang menyatukan masyarakat desa tersebut. Masyarakat desanya hidup berdampingan tanpa memandang latar belakang sosial budaya, maupun agama. Mereka saling membantu satu sama lainnya disetiap kesempatan. Spirit guyub tersebut akan menjalar ke setiap orang yang ada di acara Ngayogjazz. Dengan puluhan ribu pengunjung Ngayogjazz yang sejak dua tahun lalu didukung Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, terkadang membentuk antrian yang panjang, namun semua orang tidak berkeberatan, bahkan keadaan seperti itu menjadi kekhasan Ngayogjazz. Sebuah jam session.

Di Ngayogjazz 2015, di desa Pandowoharjo semua orang berimprovisasi dalam sebuah jam session besar yang seru dan massal.

Leave a Reply