WARTA

24
Nov

Ngayogjazz yang Njogjani

Semakin malam, Pendowoharjo bukannya semakin dingin tetapi justru semakin hangat. Riuh rendah orang-orang yang datang untuk memeriahkan peristiwa budaya tahunan ini sungguh gayeng. Berdesak-desakan memang, namun itu semua bukan menjadi masalah. Istilah “senggol bacok” sama sekali tidak berlaku. Keramahan setiap partisipan yang terlibat dalam perhelatan ini adalah kuncinya.

Sejak pagi, jual beli senyuman itu sudah menjadi pemandangan lumrah. Setelah hari semakin gelap, orang-orang pun tetap tidak lelah berbagi senyum dan saling bertegur sapa. Biarpun lokasi semakin penuh dan semakin sulit untuk berjalan, namun hal tersebut tak menyurutkan semangat orang-orang untuk berbagi senyuman. Tak heran apabila Ngayogjazz ini sudah bagaikan “negara tahunan” yang masyarakatnya berbondong-bondong datang bersama tiap satu tahun sekali.

IMG_9389_728x252pix

Hampir tiap venue padat merayap. Orang berjejalan, tak ingin ketinggalan untuk terlibat peristiwa budaya tahunan yang selalu gegap gempita. Interaksi yang sangat intens antar partisipan pun tak dapat dihindari. Dari hal sederhana seperti sekedar mengucap permisi untuk lewat atau minta bergeser sedikit demi mendapat tempat duduk. Bahkan ada seorang pemuda, yang mempersilakan seorang bapak yang ingin memotret. Pemuda itu hanya menonton dan tidak membawa kamera dan dia merasa bahwa bapak tersebut lebih membutuhkan untuk kebutuhan memotret. Tidak ada perselisihan di antara keduanya, mereka malah mengobrol akrab sampai satu penampil usai (hal ini terjadi di panggung Werkudara, saat ESQI:EF tampil).

Ramah dan sederhana. Itulah karakter Jogja yang banyak digembar-gemborkan orang. Dengan segala interaksi yang terjadi di dalamnya, Ngayogjazz sepertinya telah dapat dijadikan representasi kota ini. Festival Jazz yang Njogjani, dengan keragaman budaya yang saling bertemu dan bertukar pengalaman di peristiwa tahunan ini.